Oleh: Imam Wahyudi (Wartawan Radar Bromo)
Belanda memang sedang gencar merebut minat wisatawan agar datang berkunjung ke kota-kota di negeri yang terkenal dengan ikon kincir angin dan bunga tulip ini. Terlebih dengan posisinya yang bisa menjadi tempat transit paling strategis sebelum wisatawan hendak ke negara tetangganya, terutama: Prancis dengan Paris-nya.
Bila Kota Probolinggo ingin mengembangkan pariwisata kotanya, tak salah bila meniru Belanda. Terutama dalam hal keseriusan konsistensi, dan sinergitasnya. Ini jelas terlihat di Amsterdam.
I amsterdam. Begitu ikon wisata yang kini sedang digencarkan di Amsterdam. Motto wisata itu pun menghiasi kaus dan beragam souvenir yang kemudian dijual kepada para wisatawan.
Tidak hanya ada pada souvenir. Sampai ada pula semacam monumen untuk tulisan I amsterdam di kawasan Rijk Dam di Amsterdam. Selain itu, tulisan I amsterdam juga banyak muncul di sudut-sudut kota, terlebih dekat hotel.
Bahkan bagi para wisatawan disediakan juga I amsterdam card. Dengan memiliki card ini, wisatawan bisa dibebaskan masuk sebagian besar museum di Amsterdam. Juga diberi potongan beragam bila masuk sejumlah restoran. Juga ada fasilitas digratiskan untuk menumpang public transport maupun parkir.
Untuk I amsterdam card itu, wisatawan diberi pilihan durasi. Memilih kartu yang berlaku untuk 24 jam, 48 jam, atau 72 jam. Tapi, tentu saja untuk mendapatkan kartu ini tidak gratis.Jadi sebenarnya dengan kartu ini, wisatawan dibikin lebih praktis. Tidak perlu mengeluarkan duit cash untuk fasilitas-fasilitas yang disebutkan di atas. Yang bisa dipelajari dari sini adalah betapa jaring-jaring pariwisatanya sudah tertata begitu sinergis dan well connected.
Nah, begitu masuk Belanda, wisatawan disuguhi banyak hal untuk dinikmati. Di tengah kota Amsterdam, orang bisa menjelajahi kanal-kanal dengan canal cruise.Kanal-kanal ini memang sengaja dibentuk. Tujuannya untuk mengendalikan air laut yang masuk kota. Karena tanah Belanda lebih rendah dari permukaan laut, kanal-kanal ini jadi pengendalinya. Tapi, walau punya kanal begitu panjang dan bercabang-cabang, bukan berarti Belanda tak pernah kebanjiran.
Sepanjang menelusuri kanal, terpampang pula pemandangan unik, yakni house boat alias rumah kapal. Di Amsterdam, house boat berada di kedua sisi hampir sepanjang kanal.Itu memang kapal yang ditambatkan di tepi kanal. Tapi, kapal-kapal itu praktis sudah tidak lagi berfungsi sebagai alat pelayaran, melainkan sebagai tempat tinggal. Ada beribu house boat di Belanda. Namun, karena jumlahnya terus bertambah, maka pemerintah setempat kabarnya sudah melarang ada penambahan house boat.
Namanya house boat, fungsinya ya untuk tempat tinggal. Ada penanda nomor (rumah), di daratan sebelum masuk ke rumah-rumah kapal tersebut, biasanya juga ada terparkir sepeda pancal, sepeda motor atau mobil si pemilik house boat.
Yang menarik adalah kapal-kapal itu bentuknya tidak seragam. Setiap kapal menunjukkan keunikan desain maupun warna, bahkan usianya. Ya, tidak semua house boat adalah kapal baru. Ada pula kapal bikinan abad 16 dan 17 yang tetap bertahan dan dijadikan house boat.Kalau anda tertarik untuk tinggal di Belanda dan punya house boat di Amsterdam, saat ini adalah saat yang tepat untuk datang ke sana. Sebab, terlihat cukup banyak house boat yang ditulisi te huur (disewakan) bahkan te koop (dijual).
Lalu bagaimana dengan penduduk yang tidak tinggal di house boat? Ya mereka tinggal di rumah-rumah biasa di kota, di apartemen, atau di rumah-rumah di kawasan pertanian.Rumah-rumah di tengah kota Amsterdam dan umumnya di kota-kota lain di Belanda, cirinya hampir sama. Selain tidak ada yang pakai warna ngejreng, rumah-rumah itu punya banyak jendela kaca.Belanda sangat efisien soal rumah. Kami hampir tidak menemukan ada rumah pribadi yang seperti milik orang kaya di Probolinggo maupun Pasuruan: besar, tinggi menjulang, tertutup pagar tinggi pula.
Di pemukiman orang kaya di Amsterdam yang kami lihat, rumahnya terlihat memang sedikit lebih besar dari rumah warga biasa. Tapi tidak ada yang bangunannya tinggi menjulang, kecuali memang apartemen atau bekas gedung kuno yang jadi rumah.Rumah bangunan baru di pemukiman kaya hanya terlihat punya tempat parkir untuk mobilnya, punya lahan kosong yang dijadikan taman atau tempat bermain bagi anak-anaknya.
Nah, walau umumnya perawakan orang Belanda tinggi besar, tapi pintu-pintu rumah justru relatif kecil-kecil. Hanya cukup untuk orang masuk. Bagaimana kalau mereka membeli perabot besar?
Itu pula yang jadi ciri khas lain rumah-rumah di Belanda. Yakni adanya cantholan atau gantungan derek di setiap pucuk rumahnya. Dengan gantungan itu perabot-perabot besar dikatrol naik ke atas, lalu masuk melalui jendela.
Orang Belanda disebut sebagai orang yang mandiri dalam melakukan pekerjaan harian. Konon sampai sekarang tidak dikenal yang namanya pembantu rumah tangga di Belanda. Karena keluarga-keluarga melakukan pekerjaan hariannya sendiri.
Pekerjaan-pekerjaan domestik biasa dilakukan sebelum dan sepulang kerja. Begitu pula mereka yang punya pertanian, peternakan, kebun, maupun taman. Yang punya kuda, sapi, atau kambing, biasanya paginya ditinggalkan begitu saja di hamparan hijau yang sekelilingnya dibatasi parit.Di musim seperti ini di Belanda dan negara-negara lain di kawasan Eropa sedang panen wisatawan. Tak bisa dipungkiri, wisatawan cukup memberi tambahan pendapatan bagi Negara dan rakyatnya yang kesehariannya banyak bekerja di sektor pertanian, jasa, produksi keju, dan sebagainya.
Orang-orang di Belanda seperti punya ritme hidup yang seragam. Pagi sampai sore bekerja, malam selalu menghabiskan hidup di tempat-tempat kegemarannya. Dam square di Amsterdam menjadi tempat paling ramai dikunjungi bila malam hari. Di lokasi tempat monument liberasi itu bila malam hari banyak anak muda berkumpul, pesta di pub, bar atau di tempat terbukanya itu sambil mabuk-mabukan.
Tapi, begitulah Belanda dengan warna-warna kehidupan warganya. Sebagai sebuah Negara yang jadi destinasi wisata, Negara ini sudah cukup terbukti dalam melayani wisatawan. Misalnya soal keamanan di tempat publik macam bandara.Di hari pertama datang, rombongan kami mendapat pengalaman berharga. Setelah sight seeing, lalu ke kantor KITLV di Leiden, Kepala Bappeda Budi Krisyanto ceritanya hendak ganti baju. Ia pun mengambilnya di koper besarnya. Tapi koper besarnya yang dicari ternyata tidak ada.
Koper besar itu tertinggal di bandara Schiphol. Selepas dari KITLV, rombongan kami terpaksa mencari keberadaan koper itu di bandara. “Yang lain hilang tidak apa-apa. Yang bikin gelisah itu kalau bumbu pecelnya hilang. Kan tidak ada di sini (Belanda)…” seloroh Budi tentang kopernya.
Yang mengejutkan, setelah dicari di bandara, dengan dibantu petugas bandara, koper milik Budi ketemu. Meskipun sudah berjam-jam tertinggal.
Coba kalau itu terjadi di Indonesia….
Bila Kota Probolinggo ingin mengembangkan pariwisata kotanya, tak salah bila meniru Belanda. Terutama dalam hal keseriusan konsistensi, dan sinergitasnya. Ini jelas terlihat di Amsterdam.
I amsterdam. Begitu ikon wisata yang kini sedang digencarkan di Amsterdam. Motto wisata itu pun menghiasi kaus dan beragam souvenir yang kemudian dijual kepada para wisatawan.
Tidak hanya ada pada souvenir. Sampai ada pula semacam monumen untuk tulisan I amsterdam di kawasan Rijk Dam di Amsterdam. Selain itu, tulisan I amsterdam juga banyak muncul di sudut-sudut kota, terlebih dekat hotel.
Bahkan bagi para wisatawan disediakan juga I amsterdam card. Dengan memiliki card ini, wisatawan bisa dibebaskan masuk sebagian besar museum di Amsterdam. Juga diberi potongan beragam bila masuk sejumlah restoran. Juga ada fasilitas digratiskan untuk menumpang public transport maupun parkir.
Untuk I amsterdam card itu, wisatawan diberi pilihan durasi. Memilih kartu yang berlaku untuk 24 jam, 48 jam, atau 72 jam. Tapi, tentu saja untuk mendapatkan kartu ini tidak gratis.Jadi sebenarnya dengan kartu ini, wisatawan dibikin lebih praktis. Tidak perlu mengeluarkan duit cash untuk fasilitas-fasilitas yang disebutkan di atas. Yang bisa dipelajari dari sini adalah betapa jaring-jaring pariwisatanya sudah tertata begitu sinergis dan well connected.
Nah, begitu masuk Belanda, wisatawan disuguhi banyak hal untuk dinikmati. Di tengah kota Amsterdam, orang bisa menjelajahi kanal-kanal dengan canal cruise.Kanal-kanal ini memang sengaja dibentuk. Tujuannya untuk mengendalikan air laut yang masuk kota. Karena tanah Belanda lebih rendah dari permukaan laut, kanal-kanal ini jadi pengendalinya. Tapi, walau punya kanal begitu panjang dan bercabang-cabang, bukan berarti Belanda tak pernah kebanjiran.
Sepanjang menelusuri kanal, terpampang pula pemandangan unik, yakni house boat alias rumah kapal. Di Amsterdam, house boat berada di kedua sisi hampir sepanjang kanal.Itu memang kapal yang ditambatkan di tepi kanal. Tapi, kapal-kapal itu praktis sudah tidak lagi berfungsi sebagai alat pelayaran, melainkan sebagai tempat tinggal. Ada beribu house boat di Belanda. Namun, karena jumlahnya terus bertambah, maka pemerintah setempat kabarnya sudah melarang ada penambahan house boat.
Namanya house boat, fungsinya ya untuk tempat tinggal. Ada penanda nomor (rumah), di daratan sebelum masuk ke rumah-rumah kapal tersebut, biasanya juga ada terparkir sepeda pancal, sepeda motor atau mobil si pemilik house boat.
Yang menarik adalah kapal-kapal itu bentuknya tidak seragam. Setiap kapal menunjukkan keunikan desain maupun warna, bahkan usianya. Ya, tidak semua house boat adalah kapal baru. Ada pula kapal bikinan abad 16 dan 17 yang tetap bertahan dan dijadikan house boat.Kalau anda tertarik untuk tinggal di Belanda dan punya house boat di Amsterdam, saat ini adalah saat yang tepat untuk datang ke sana. Sebab, terlihat cukup banyak house boat yang ditulisi te huur (disewakan) bahkan te koop (dijual).
Lalu bagaimana dengan penduduk yang tidak tinggal di house boat? Ya mereka tinggal di rumah-rumah biasa di kota, di apartemen, atau di rumah-rumah di kawasan pertanian.Rumah-rumah di tengah kota Amsterdam dan umumnya di kota-kota lain di Belanda, cirinya hampir sama. Selain tidak ada yang pakai warna ngejreng, rumah-rumah itu punya banyak jendela kaca.Belanda sangat efisien soal rumah. Kami hampir tidak menemukan ada rumah pribadi yang seperti milik orang kaya di Probolinggo maupun Pasuruan: besar, tinggi menjulang, tertutup pagar tinggi pula.
Di pemukiman orang kaya di Amsterdam yang kami lihat, rumahnya terlihat memang sedikit lebih besar dari rumah warga biasa. Tapi tidak ada yang bangunannya tinggi menjulang, kecuali memang apartemen atau bekas gedung kuno yang jadi rumah.Rumah bangunan baru di pemukiman kaya hanya terlihat punya tempat parkir untuk mobilnya, punya lahan kosong yang dijadikan taman atau tempat bermain bagi anak-anaknya.
Nah, walau umumnya perawakan orang Belanda tinggi besar, tapi pintu-pintu rumah justru relatif kecil-kecil. Hanya cukup untuk orang masuk. Bagaimana kalau mereka membeli perabot besar?
Itu pula yang jadi ciri khas lain rumah-rumah di Belanda. Yakni adanya cantholan atau gantungan derek di setiap pucuk rumahnya. Dengan gantungan itu perabot-perabot besar dikatrol naik ke atas, lalu masuk melalui jendela.
Orang Belanda disebut sebagai orang yang mandiri dalam melakukan pekerjaan harian. Konon sampai sekarang tidak dikenal yang namanya pembantu rumah tangga di Belanda. Karena keluarga-keluarga melakukan pekerjaan hariannya sendiri.
Pekerjaan-pekerjaan domestik biasa dilakukan sebelum dan sepulang kerja. Begitu pula mereka yang punya pertanian, peternakan, kebun, maupun taman. Yang punya kuda, sapi, atau kambing, biasanya paginya ditinggalkan begitu saja di hamparan hijau yang sekelilingnya dibatasi parit.Di musim seperti ini di Belanda dan negara-negara lain di kawasan Eropa sedang panen wisatawan. Tak bisa dipungkiri, wisatawan cukup memberi tambahan pendapatan bagi Negara dan rakyatnya yang kesehariannya banyak bekerja di sektor pertanian, jasa, produksi keju, dan sebagainya.
Orang-orang di Belanda seperti punya ritme hidup yang seragam. Pagi sampai sore bekerja, malam selalu menghabiskan hidup di tempat-tempat kegemarannya. Dam square di Amsterdam menjadi tempat paling ramai dikunjungi bila malam hari. Di lokasi tempat monument liberasi itu bila malam hari banyak anak muda berkumpul, pesta di pub, bar atau di tempat terbukanya itu sambil mabuk-mabukan.
Tapi, begitulah Belanda dengan warna-warna kehidupan warganya. Sebagai sebuah Negara yang jadi destinasi wisata, Negara ini sudah cukup terbukti dalam melayani wisatawan. Misalnya soal keamanan di tempat publik macam bandara.Di hari pertama datang, rombongan kami mendapat pengalaman berharga. Setelah sight seeing, lalu ke kantor KITLV di Leiden, Kepala Bappeda Budi Krisyanto ceritanya hendak ganti baju. Ia pun mengambilnya di koper besarnya. Tapi koper besarnya yang dicari ternyata tidak ada.
Koper besar itu tertinggal di bandara Schiphol. Selepas dari KITLV, rombongan kami terpaksa mencari keberadaan koper itu di bandara. “Yang lain hilang tidak apa-apa. Yang bikin gelisah itu kalau bumbu pecelnya hilang. Kan tidak ada di sini (Belanda)…” seloroh Budi tentang kopernya.
Yang mengejutkan, setelah dicari di bandara, dengan dibantu petugas bandara, koper milik Budi ketemu. Meskipun sudah berjam-jam tertinggal.
Coba kalau itu terjadi di Indonesia….