KITLV berada di kota Leiden. Sebenarnya secara kelembagaan, KITLV adalah lembaga swasta. Tapi, karena begitu penting perannya, lembaga ini 90 persen dana operasionalnya disokong oleh pemerintah setempat. “Selama ini kami tidak pernah kesulitan mendapat dukungan dana dari pemerintah,” kata Dr Willem van Der Molen, salah satu peneliti di KITLV.
KITLV merupakan lembaga yang sangat tua. Umurnya sekarang sudah lebih dari 150 tahun. KITLV berada satu komplek dengan Universitas Leiden, salah satu universitas terkemuka di jagad. Perpustakaan yang dimiliki KITLV pun menjadi rujukan utama para mahasiswa Universitas Leiden.
Yang membanggakan, cukup banyak warga Indonesia yang sekarang ini menuntut ilmu di Universitas Leiden. Tidak sedikit pula anak-anak muda yang menjadi peneliti di KITLV.
Pendirian KITLV dirintis oleh beberapa orang. Tapi, tokoh utamanya adalah T. Roorda. Dia ini guru besar bahasa Jawa di Delft. Dia mengajari para pegawai yang hendak diberangkatkan ke Indonesia di zaman kolonial. Karena kedekatan dengan Indonesia itu maka KITLV sejak awal didirikan memang sudah menjadikan Indonesia sebagai fokus dari tiga pekerjaan utamanya. Ya, ada tiga pekerjaan utama KITLV.
Pertama, mengumpulkan bahan berupa buku, foto, majalah, peta, dan segala yang berhubungan dengan Indonesia. Kedua, meneliti bahan-bahan yang dikumpulkan. Ketiga, menerbitkan majalah dan buku berisi hasil-hasil penelitian.
Bayangkan jika tiga pekerjaan itu sudah dilakukan seratusan tahun yang lalu. Ada berapa banyak bahan tentang Indonesia yang dikumpulkan? Jawabannya pasti buanyak… Dan inilah salah satu lembaga penting yang dijadikan mitra oleh Kota Probolinggo demi pengayaan dan pengembangan Museum Probolinggo.
Selasa (3/5) itu rombongan Wali Kota Buchori disambut secara khusus di KITLV. Yang menyambut adalah head of research KITLV Dr Henk Schulte Nordholt, dan dua peneliti Dr Willem van Der Molen serta Dr Nico van Horn. Doktor Henk menyambut baik kedatangan rombongan dari Kota Probolinggo. Dia menyebut KITLV sudah memiliki koneksi dengan orang maupun lembaga-lembaga-lembaga di dunia. Tak salah bila KITLV sudah didatangi orang-orang maupun lembaga dari banyak belahan dunia. Dan Henk mengaku senang dalam rombongan kami ikut juga langsung wali kota Probolinggo.
Hari itu saat menyambut rombongan dari Kota Probolinggo, KITLV tidak hanya menyediakan seremoni yang gayeng dan suguhan kopi hangat. Lembaga yang sekarang memiliki sekitar 50 orang staf dan peneliti ini juga menyuguhi kami dengan pameran kecil. Meja pertemuan berbentuk lonjong tidak diisi makanan, tapi sebagian koleksi tentang Indonesia. Di antaranya adalah koleksi yang merupakan kekayaan masa lalu Probolinggo.
Lepas sambutan ringkas dari doktor Henk, doktor Willem kemudian membeber satu per satu koleksi yang dipajang untuk menyambut rombongan dari Kota Probolinggo. Yang pertama disajikan adalah sebuah kitab kuno yang disebut sebagai koleksi kebanggaan KITLV. Kitab itu tebalnya hampir 10 cm. Isinya adalah babad keraton Pakualam yang ditulis dengan tulisan tangan berbahasa Jawa kuno pada tahun 1800-an. Lalu ada buku History of Java, hasil penelitian sir Thomas Stamford Raffles. Ini buku “babon” karena kerap jadi salah satu rujukan penting untuk penelitian tentang Jawa.
Lalu ada jurnal lawas tentang musik keroncong. “Tidak bisa dipungkiri, musik keroncong telah mempengaruhi kebudayaan Belanda,” kata doctor Willem. Tapi, bukan cuma koleksi lawas yang disimpan KITLV. Perjalanan kebudayaan bangsa kita benar-benar diikuti terus oleh lembaga ini. Karenanya mereka pun mengoleksi cerminan budaya modern. Simak saja, saat itu KITLV juga menunjukkan koleksi majalah Bobo, poster sepak bola ASEAN Cup 2010, bahkan novel dan DVD Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrohman el Shirazy, Megalomania karya Halim Zaini, maupun Sujud Panjang Sehelai Hati karya Malik Acid Zahrani. “Sastra modern ini juga merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia. Karena itu kami sengaja mengoleksinya,” kata Willem.
Nah, untuk koleksi yang bersangkut paut dengan Probolinggo, KITLV juga punya. Yang ditunjukkan saat itu misalnya hasil skripsi mahasiswa UI tentang candi Jabung (Paiton). Di dalamnya ada temuan penelitian tentang tulisan empu Prapanca yang menyebut Probolinggo pertama kali pada 1365 dengan sebutan Banger (nama kali di Probolinggo).
Lalu yang berharga adalah KITLV punya peta lintasan atau jalur trem yang pernah ada di Probolinggo. Yakni dari Probolinggo kota melintasi Dringu, Pantai Bentar, Gending, Pajarakan, Kraksaan, terus ke Paiton. Selain peta trem, KITLV juga menyimpan buku tentang maskapai yang menangani trem Probolinggo-Paiton itu. Juga ada peta Kota Probolinggo tahun 1882. Di situ sejumlah daerah di kota masih tertulis dengan nama-nama lawas. Sebut saja Maijangan (Mayangan) Wetan dan Koelon, Mangoendjaijan (kini Mangunharjo), Djati, Djobowan, Bremi, Oengoep-Oengoep, Belokan, Soember, Djengrong, Mantong, dan sebagainya. Berikutnya yang bikin Wali Kota Buchori sampai gedek-gedek keheranan adalah KITLV punya gambar bestek asli konstruksi tower atau menara air dan pasar daging (rumah potong hewan) yang ada di Kota Probolinggo. Untuk bestek menara air tertulis tahun 1927. “Ini baru ini…” kesan Wali Kota Buchori soal koleksi bestek menara air itu.
Ada juga data sejarah yang terasa membanggakan bagi para pengrajin batik Probolinggo. Bahwa ternyata batik Probolinggo sudah ada sejak lawas. KITLV punya dokumen pengirim dan pengiriman batik Probolinggo ke Belanda. Jadi, tak salah jika kini Kota Probolinggo getol membangkitkan lagi batik Probolinggo. Satu lagi yang mengejutkan rombongan kami saat itu adalah paparan tentang adanya intelektual atas Probolinggo yang pernah punya karya besar bersama peneliti Belanda J.E. Jasper. Namanya Mas Pirngadie. Bersama Jasper, Mas Pirngadie menulis tentang kebudayaan Indonesia berjudul Kunstnijverheid in Nederlandsche Indie. Buku ini diterbitkan sampai lima seri. Sayangnya, KITLV hanya tahu Mas Pirngadie berasal dari Probolinggo, walau saat menulisnya dia sudah tinggal di Batavia. “Itu perlu dicari asal-usulnya (Mas Pirngadie),” kata Wali Kota Buchori.
Selain koleksi-koleksi itu, tentu saja KITLV punya juga koleksi foto-foto lawas. Termasuk foto-foto lawas tentang Probolinggo. Seperti yang dipamerkan saat itu, ada foto heerenstraat Probolinggo (kini Jl Suroyo), pelabuhan lawas dan rumah residen. Dengan jalinan kerja sama yang dibangun ini, KITLV memberi copyright foto-foto lawas Probolinggo untuk dipamerkan di Museum Probolinggo. Selain itu Kota Probolinggo juga diberi salinan sejumlah arsip dan peta. Berikutnya, Museum Probolinggo juga masuk jaringan mitra KITLV. Dengan begitu, Museum Probolinggo bisa mendapat kiriman terbitan hasil penelitian yang dilakukan KITLV.
Karena KITLV fokus utamanya meneliti Indonesia, maka para staf dan peneliti di lembaga ini mahir berbahasa Indonesia. Terutama para peneliti, wajib bisa berbahasa Indonesia. Begitu pula dengan doktor Willem dan doktor Nico. Di akhir kunjungan hari pertama di KITLV itu, Wali Kota Buchori menyerahkan cendera mata dan sejumlah majalah tentang Kota Probolinggo sebagai kenang-kenangan. Kenang-kenangan itu diterima oleh Nico dan Willem. “Maturnuwun…” kata Nico kepada Wali Kota Buchori saat menerima kenang-kenangan itu. “Semoga ini bisa bermanfaat, bisa menambah koleksi KITLV, khususnya tentang Kota Probolinggo,” kata Wali Kota Buchori lagi kepada Nico. “Iyo…” sahut Nico yang sontak membuat kami semua tertawa lebar. (bersambung)
Salam Persma.....!!!!
Lembaga Pers Mahasiswa Sastra Universitas Jember, berdiri pada tanggal 21 Februari 1995. Sebelum LPMS lahir, sudah ada media Mahasiswa Sastra yaitu SAS. Namun SAS hanya mampu bertahan sampai edisi ke-42. Di edisi itu, kawan-kawan SAS memuat hasil wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer.
Akibat represifitas Rezim Orba, Tabloid SAS akhirnya dibredel. namun pembredelan itu tidak membuat kawan-kawan patah arang. Eksistensi LPMS yang sah disebut "watch dog", anjing penjaga alias pilar demokrasi ke-4. selai anjing penjaga, LPMS juga merupakan wahana pengembangan kreativitas tulis menulis Mahasiswa Sastra
Dari Redaksi
Mestilah penampilan ruang sempit ini tidak memuaskan anda. akan tetapi kami berupaya hadir walaupun...
Menjadi Kontributor
LPMS IDEAS menerima kritik dan saran dari anda yang bersifat membangun. Selain itu kami juga menerima karya anda berupa esai, opini, karikatur, resensi, cerpen, dan puisi. Kirim dalam format file *.doc ke alamat email: lpms.ideas@gmail.com