15 October 2011

*

Catatan Perjalanan dari Negeri Negeri Kincir Angin (1)

Oleh: Imam Wahyudi (Wartawan Radar Bromo)

Kala saya menulis ini, terhitung sudah lima hari kami berada di negeri Kincir Angin. Sebenarnya saya sangat bernafsu segera menuliskan perjalanan kami begitu sampai di negeri Belanda. Tapi, rute yang kami tempuh sungguh melelahkan. Saya pun terpaksa harus berkompromi dengan kondisi fisik dan schedule perjalanan.

Pesawat yang membawa rombongan Pemkot Probolinggo yang saya ikuti ini lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta pada Senin (2/5) sekitar pukul 20.30 WIB. Dari Jakarta, jalur penerbangan kami langsung ke Amsterdam, Belanda. Tapi, pesawat kami sempat transit sejenak di bandara internasional Dubai sekitar satu jam untuk “ngisi bensin”.

Selasa (3/5) kami tiba di Belanda. Sampai di bandara internasional Schiphol, Amsterdam sekitar pukul 08.20 waktu setempat. Dengan selisih waktu lima jam dengan Indonesia (WIB), berarti saat kami tiba di bandara Schipol, di Probolinggo waktunya sudah jelang ashar, sekitar pukul 13.20.

Itu berarti penerbangan kami dari Jakarta sampai Amsterdam menghabiskan waktu sampai sekitar enam belas jam. Duduk belasan jam lamanya dalam pesawat dengan posisi hanya bisa berubah ndingkluk dan jejeg tentu melelahkan. Tidur dengan posisi duduk juga tidak semua orang bisa menikmatinya. Juga tidak mungkin selama belasan jam terus-terusan merem.

Untung saja pesawat Garuda Indonesia Airways jenis Airbus 300-200 yang menerbangkan kami menyediakan LCD layar sentuh di setiap kursi, termasuk kursi kami di kelas ekonomi. Dengan LCD layar sentuh itu penumpang bisa membunuh waktu dengan menikmati hampir 25 film dari jenis kartun/komedi, drama, action, sampai features.

Bagi yang suka musik, disediakan pula 250 track lagu dari album penyanyi Indonesia dan manca. Kalau tidak suka nonton film, juga tidak suka dengar musik, disediakan 25 jenis game. Tapi kalau tidak suka semua yang disediakan di LCD, pun tidak bisa tidur dengan duduk, ya terpaksa ketap-ketip sampai capek sendiri dan akhirnya tertidur…

Setelah capek dalam penerbangan, di Amsterdam kami langsung disambut oleh –guyonan kami– “cuaca munafik”. Suhu berkisar 5 derajat celcius. Hawanya dingin sampai menusuk tulang. Tapi matahari bersinar terang dan panas menyengat. Saya jadi membayangkan, dengan warna kulit saya yang sudah sawo terlalu matang, sepulang nanti bisa jadi warna sawo busuk.

Sebenarnya saat ini Belanda tidak sedang musim dingin. Bulan April-Mei disebut-sebut sebagai masa paling pas bila ingin berkunjung ke Belanda. Sebab, musimnya sedang spring menuju summer. Suhu rata-rata tidak sampai minus. Jadi, ya di Belanda ini saya menganggap sedang berada di Gunung Bromo saja. Tapi, fisik saya kalah juga ternyata. Di hari ketiga, bibir saya sampai pecah-pecah.

Selain suhu, bulan ini memang dianggap paling pas untuk berkunjung ke Belanda. Sebab, belum termasuk peak season untuk kunjungan wisata. Karenanya, sejak dari bandara Soekarno Hatta Jakarta saya tidak melihat antrean luar biasa untuk pesawat menuju Belanda.

Di bandara Schiphol pun sama. Walau memang jelas terlihat ada rombongan-rombongan wisatawan dari negara-negara Eropa, tapi jumlahnya tak sampai membuat bandara jadi sampai “padat merayap”.

Rombongan yang saya ikuti cukup gemuk. Ada Wali Kota Buchori, Kepala Bappeda Budi Krisyanto, Kepala Dinas PU Sanusi Sapuan, Kepala DPPKAD Imam Suwoko, Kepala Dispendik Endro Suroso, Direktur RSUD dr Bambang Agus, koordinator Museum Probolinggo Ade S.P., panitia Semipro 2011 Heru Judhiarto dan Sumarji.

Di Belanda, tujuan utama kami adalah mendatangi markas KITLV (Koninlijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde). Ini lembaga dokumentasi, arsip dan penelitian yang umurnya sudah hampir sudah berkisar 150 tahun. Konsentrasinya memang segala-gala yang berbau budaya Indonesia. Dengan KITLV ini, Pemkot Probolinggo berusaha menjalin kerja sama demi pengembangan Museum Probolinggo.

Selasa (3/5) itu kami dijadwalkan diterima langsung pimpinan KITLV pada pukul 14.30 waktu setempat. Jadi setiba kami di bandara Schiphol, Amsterdam, masih ada rentang waktu cukup lama sampai jadwal pertemuan di KITLV.

Rentang waktu itu kami manfaatkan untuk sight seeing menjelajahi Amsterdam. Konon, nama Amsterdam diambil dari kata (sungai) Amstel dan dam. “Ada petani yang dulunya selalu dibikin resah oleh banjir. Maklum, Belanda ini kan tanahnya berada rata-rata 1-1,5 meter di bawah permukaan laut. Akhirnya petani bikin dam. Sejak itu masalah banjir teratasi. Sejak itu juga lalu dikenal sebutan Amstel-dam dan menjadi Amsterdam,” kata Sonny Budiman, guide kami.

Karena itu pula dalam kelanjutan pengembangan kota Amsterdam yang sudah dilakukan pada abad enam belas, kota ini jadi terkenal dengan begitu banyaknya kanal. Sampai-sampai Amsterdam berjuluk The Venice of the North. Gedung-gedung tua yang tetap dirawat dan dipertahankan kondisi maupun arsitekturnya dengan lintasan kanal-kanal, menjadi jantung kota Amsterdam.

Datang ke Amsterdam, rasanya tak lengkap bila tidak naik canal cruises. Sehari-harinya dari pangkalannya, saban 15 dan 30 menit ada kapal yang diberangkatkan untuk wisatawan. Setiap kapal umumnya bisa mengangkut sampai 90 orang penumpang.

Perjalanan yang ditawarkan beragam. Ada paket 100 Highlight Cruise dengan lama perjalanan 1 jam. Ada paket Ultimate Cruise dengan lama perjalanan 1,5 jam. Lalu yang ingin lebih menikmati romantisnya kota Amsterdam melalui canal cruise pada malam hari, disediakan paket Dinner Cruise, Candle Light Cruise dan Cocktail Cruise.

Kami mengambil paket 100 Highlight Cruise. Tiketnya satu orang dewasa EUR 13 atau Rp 166.400 (dengan kurs hari itu EUR 1 = Rp 12.800). Untuk anak-anak (4-12 tahun) dikenai tiket seharga separonya tiket orang dewasa, yakni EUR 6,50 atau Rp 83.200.

Di luar paket 100 Highlight Cruise, harga tiketnya jauh lebih mahal. Paket Candle Light Cruise dan Cocktail Cruise, misalnya, harga tiket untuk orang dewasa sampai EUR 29 atau setara Rp 371 ribuan.

Namun, ongkos yang harus dibayar itu memang setimpal. Di sepanjang perjalanan yang dilalui canal cruise, penumpang bisa mendengarkan rekaman audio berisi paparan sejarah kota Amsterdam, berikut setiap gedung-gedung lawas yang ada di kanan-kiri kanal.

Gedung-gedung itu terlihat rupanya sengaja dipertahankan arsitekturnya agar identitas kota Amsterdam tak hilang. Maka, di mana-mana yang terlihat dari luar adalah bangunan dengan arsitektur kuno dengan tatanan batu bata yang terlihat. Jadi, walaupun bagian dalamnya sudah hasil renovasi dan berisi peralatan canggih, tetap saja kulit luarnya adalah bangunan kuno.

Dan selama berputar-putar di Amsterdam nyaris tidak saya dapatkan gedung berwarna ngejreng. Baik itu rumah, apartemen, sekolah, gereja, pertokoan, sampai gedung pertunjukan, bar maupun cafe.

Ada data yang menyebut, sedikitnya ada 20 ribu gedung tua yang berdiri di atas tanah seluas 800 hektare. Bangunan tersebut terdiri dari bangunan gudang, gereja, dan istana yang dibangun sebelum tahun 1850. Terdapat pula 6.700 bangunan yang masuk kategori monumen nasional seperti gedung bersejarah, dan ada sekitar 200 bangunan dan monumen.

Bangunan tua itu telah menjadi aset bagi Amsterdam. Karena itu, pemerintah setempat memiliki kebijakan khusus untuk melindungi monumen, bangunan tua, kanal, dan struktur kota.

Soal kanal, Amsterdam memiliki empat kanal utama. Yakni Prinsengracht, Herengracht, Keizersgracht and Singel. Tapi, Amsterdam tidak hanya terkenal dengan kanal-kanalnya. Kota tua ini juga kaya dengan jembatan. Sebagian besar adalah jembatan tua bikinan abad tujuh belas.

Di Amsterdam saja disebutkan sampai ada 500-an jembatan. Dan umumnya jembatan itu bisa dibuka-tutup. Ini agar kapal besar tetap bisa melintas dan masuk kota.

Kali Banger di Kota Probolinggo, seandainya masih bertahan seperti yang diceritakan orang-orang dari masa lalu, mungkin kondisinya sama dengan kanal di Amsterdam. Kapal masih bisa masuk sampai di tengah kota, (sekarang) Pasar Baru.

Selama naik canal cruise di Amsterdam hari itu, kepala dan hati saya tak bisa lepas dari sejarah kolonialisasi Belanda di Indonesia. Konon, bangsa Eropa sangat membutuhkan rempah-rempah. Mulai dari lada, pala, dan bunga pala yang disebut fuli.

Rempah-rempah itu dibutuhkan tidak hanya sebagai bumbu makanan, tapi lebih dari itu, sebagai penghangat tubuh pada saat musim dingin. Karenanya sampai muncul ungkapan bahwa barang siapa menguasai pusat rempah-rempah, maka dia akan menguasai “kerongkongan Eropa”.

Karenanya bangsa-bangsa di benua Eropa mati-matian menjelajahi benua lain demi menemukan sumber-sumber rempah. Dalam masa perang merebut kemerdekaannya atas Spanyol, para pedagang Belanda kesulitan mendapat rempah-rempah yang ada di Lisabon. Para pedagang Belanda akhirnya menjelajah ke Asia.

Pada 1596 Cornellis de Houtman berlabuh di Banten. Disusul pada 1598
Compagnie VanVerre di Belanda memberangkatkan 8 kapal di bawah pimpinan Van Nock danWarwijk ke Banten. Selanjutnya, semakin banyak saja kapal-kapal perusahaan Belanda yang datang ke nusantara melalui Banten. Bahkan konon sampai 14 perusahaan dengan 62 kapal.

Karena ancaman persaingan dengan Spanyol dan Portugis belum habis, akhirnya perusahaan-perusahaan itu bersatu membentuk perusahaan yang kemudian kita kenal dengan nama VOC (vereenigde oost indische compagnie). Itu terjadi ada 1682.

Dalam catatan sejarah, VOC kemudian tidak hanya menjadi perusahaan dagang. Tapi juga telah menjadi sebuah otoritas Belanda di wilayah nusantara. Simak saja bagaimana otoritas kongsi dagang ini yang diberikan oleh pimpinannya, yakni dewan beranggotakan 17 orang yang berpusat di Amsterdam.

Di Asia, VOC menjadi wakil pemerintah Belanda. VOC bisa memonopoli perdagangan, bisa mencetak dan mengedarkan uang sendiri, bisa mengadakan perjanjian-perjanjian, bisa memungut pajak, memiliki tentara perang sendiri, dan karenanya bisa berperang dengan tentara negara lain.

Untuk memuluskan jalannya otoritas itu, maka diangkatlah gubernur jenderal VOC di nusantara. Saat Jan Pieterzen Coen menjadi gubernur jenderal VOC yang kedua, ia memindahkan ousta kekuasan VOC dari Banten ke Batavia (Jakarta). Melalui praktik VOC berupa monopoli perdagangan, perampasan, perjanjian yang merugikan kerajaan-kerajaan nusantara inilah kekayaan alam Indonesia diserap rap rap oleh Belanda.

Sampai akhirnya pada abad 18, VOC mengalami kebangkrutan. Ini karena mereka terlalu banyak pengeluaran untuk membiayai peperangan. Selain itu juga karena kekayaan mereka banyak dikorupsi oleh pegawainya sendiri. Belum lagi mereka masih harus bersaing dengan pedagang dari bangsa-bangsa lain.

Bruak!!! Suara keras itu sungguh mengejutkan. Canal cruise yang kami naiki siang itu ternyata buntutnya nyerempet dinding kanal saat sedang ngepot (baca: belok). Suara benturan itu seperti mengingatkan saya: bahwa pada kekayaan dan segala-gala kehebatan negeri Belanda saat ini, ada jejak keringat, darah dan air mata para moyang kita bangsa Indonesia. 
(bersambung)
Share on :
 
© Copyright Ideas Online 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all