21 November 2011

*

Tak Hanya “KLIK”


Robert Vare yang pernah menyumbangkan hidupnya bagi majalah The Newyorker dan The Rolling Stone, mengatakan jika kata jurnalisme –di depan kata sastrawi mencoba menyucikan fakta. Walaupun mengadopsi teknik penulisan karya sastra, di tiap helai tulisan jurnalisme sastrawi harus berupa fakta. Nama-nama orang, tempat, peristiwa memang benar-benar nyata dan sesuai realita yang terjadi.

Fakta, fakta, dan fakta. Betapa tegasnya Andreas Harsono membatasi ruang antara jurnalisme dan sastra. Seolah dia ingin memberi arus balik pada publik jika jurnalisme sastrawi itu berbeda ruang dengan karya fiksi. Sebagaimana pandangan publik jika jurnalisme sastrawi masih tergolong peranakan fiksi. Pernah suatu saat seorang bertanya padanya, apakah Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma telah tersakralkan faktanya dan tergolong dalam jurnalisme sastrawi. Jawaban Andreas sederhana sekali, karya Seno itu fiksi.

Tidak bisa dipungkiri jika pertanyaan semacam itu senantiasa lahir di rahim publik. Latar belakang Seno adalah seorang wartawan senior Jakarta-Jakarta yang bergulat di era rezim Soeharto. Pasca medianya memuat berita tentang tragedi pembunuhan orang-orang Timor Leste, Seno beserta tiga awak redaksinya dipecat. Setelah itu karena betapa besarnya tanggung jawabnya pada publik, Seno mencoba menuliskan berita Santa Cruz dalam bentuk narasi cerpen. Upaya pun berhasil, karya Seno lolos dari dekapan subversif Orba. Lantas mengapa Andreas dengan tegas mengatakan jika hasil rekonstruksi berita Seno dalam bentuk narasi cerpen itu ialah fiksi?

 Mungkin karena sebagian besar nama-nama tokoh dalam Saksi Mata telah disamarkan. Di samping itu tempat-tempat kejadian tidak disebutkan dengan jelas. Di sisi lain, dalam kekangan Orba memang karya Seno ada justru karena dia tidak mampu menuliskan fakta. 

Hal itu serupa dengan novel sejarah Pramoedya Ananta Toer. Walaupun Rumah Kaca karya Pram –dibanding pada sejarawan indonesia adalah yang pertama memuat sejarah orang-orang bawah dan menentang pemerintahan kolonial. Akan tetapi karya Pram tetap saja “Novel” yang otomatis “Fiksi”. Oleh sebab itu karya Pram tidak akan dipakai oleh para sejarawan sebagai sumber primer. Hanya saja karya Pram dibutuhkan untuk memahami gerak sosial masyarakat dalam tempat, ruang, dan waktu tertentu. 

Dalam kecepatan arus pewartaan informasi, tentusaja sebagian besar jenis tulisan surat kabar hanya seputar 5W+1H. Betapa membosankannya jenis tulisan tersebut. Apakah tidak ada media yang menyajikan berita dalam bentuk novel? Dengan usaha yang sangat keras Pantau menjawabnya. Walaupun pada akhirnya Pantau menyadari jika jurnalisme sastrawi tidak cocok bagi kaum inlander. Dengan tampilan sederhana dan mengutamakan kekuatan tulisan Pantau menerapkan di negri ini. Jurnalisme baru yang mengubah Who menjadi karakter, What menjadi alur, Where menjadi latar, When menjadi kronologi, Why menjadi motif, dan How menjadi narasi.

Jika laporan surat kabar biasa hanya berupa selembar potret. Maka, jurnalisme sastrawi adalah serangkaian peristiwa yang dihimpun menjadi video. Dalam artian jurnalisme Sastrawi mempunyai kedalaman yang melebihi in depth reporting. Cukup sekian pengantar dikusi “Jurnalisme Sastrawi” di Sekertariat LPMS-Ideas (13/10) pukul 19.00 WIB. Mari uji keberanian berpikir kita…!!

*Departemen Penelitian dan Pengembangan '11 LPMS-Ideas

Share on :
 
© Copyright Ideas Online 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all