Satuan keamanan (Satpam) Fakultas Sastra berusaha menangani permasalahan yang didatangkan oleh pengemis dan para pemulung. Tentunya seiring inisiatif dari pihak dekanat, “Kebetulan untuk dekanat sendiri sudah menugaskan khususnya keamanan kalau ada pengemis segera di usir dari sini” terang Widodo salah satu personil satuan keamanan Fakultas Sastra disela-sela ujung waktu pergantian shift pekerjaannya.
Ada kesan baik memang atas sebuah kebijakan yang diturunkan oleh Dekan, tapi masih terkesan kurang serius karena terbukti bahwa pelaksanaan di lapangan masih belum efektif. Kondisi ini semakin merenggangkan antara konsep dengan aplikasi Kebijakan itu sendiri.
Tak heran jika Ritual kucing-kucingan kerap kali menjadi strategi para pengemis dan pemulung yang ingin mengeruk kekayaan dalam fakultas.
Kebijakan memang sebuah proses yang rumit dan berkelanjutan. Walaupun kebijakan sudah diluncurkan ke sektor satuan keamanan kampus yang bekerja di lapangan. Namun mengapa implementasi kebijakan dilapangan jauh dari ideal. Hal tersebut dipengaruhi oleh minimnya satpam yang bertugas pada tiap shift sehingga tak mampu memfilter siapa saja yang berhak berproses dalam Fakultas Sastra.
Drs. Hadiri, M.A. mengatakan bahwa pihak dekanat sudah memikirkan tentang minimnya satpam yang ditugaskan, “itu sebenarnya sudah kita pikirkan, namun kendalanya untuk mengangkat satpam diperlukan dana”.
Rizqi mahasiswa sastra indonesia berharap pada petugas keamanan untuk berlaku tegas di lapangan, “memperketat keamanan dan membuat aturan agar mereka tidak bisa masuk”. Lewat pendapatnya tersebut dia berupaya meninjau kinerja satpam yang jauh dari harapan.
Ada gula ada semut, upaya untuk menertibkan kampus dari para pengemis dan pemulung akan semakin efektif jika dijalankan oleh seluruh warga kampus dan berupaya tidak memanjakan pengemis. Harapan tak akan bergerak lincah tanpa peranan mahasiswa untuk tidak menabur gula yang membuat semut itu hadir.
Drs. Hadiri, M.A. selaku PD III Fakultas Sastra sering mensosialisasikan ke mahasiswa untuk tidak memberikan uang yang dalam jangka panjang akan menjadi sebuah undangan bagi para pengemis untuk hadir kembali.
Lebih lanjut Beliau menghimbau pada semua elemen FS UJ untuk merealisasikan wujud kepeduliannya seperti dalam bentuk bakti sosial.
Sadar atau tidak bahwa manusia memiliki perangkat lunak yaitu rasa kasihan. Setiap kepingan receh yang kita berikan menjadikan candu bagi mereka yang nantinya akan menjadikan mengemis adalah suatu profesi menjanjikan.
Sangat jauh dari konstruksi moral yang dihadirkan oleh agama. Asumsi tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah seketika akan menjadi sebaliknya, jika usaha tangan dibawah itu berbuah harta yang melimpah dan bersifat praktis. [DieKey]